Menengok Kamp Interniran di Kota Malang, Camp Penahanan Belanda Oleh Jepang
Bayangkan rumah segini, kamarnya 3, kamar mandinya cuma satu Mbak, diisi 50-60 orang. Tanpa diberi makan dan minum, ya namanya juga ditahan kan? Jelas mereka hidup tertekan, bukan hanya persoalan kebersihan dan rasa haus serta lapar. Tapi secara psikologis mereka juga terguncang. Terpisah dari keluarga, entah nanti bisa bertemu lagi atau tidak, belum lagi camp wanita. Ada yang diperkosa, duh kejam lah pokoknya.
Rumah Pak Ir menjadi salah satu rumah yang masuk ke dalam kamp Interniran di Kota Malang. Pak Ir menerangkan bagaimana rumah beliau dulu dijadikan salah satu rumah untuk menahan orang-orang Belanda di kota Malang yang jumlahnya sekitar 5000 itu.
Rumah Pak Ir terletak di Jalan Anjasmoro nomor 25. Rumah beliau menjadi salah satu yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia sebagai cagar budaya. Saksi bisu bagaimana perjuangan rakyat Indonesia melawan Belanda dan juga Jepang.
Apa itu Kamp Interniran? Bagaimana bisa Pak Ir menjadi salah satu yang lahir dan tumbuh besar di sana?
Mengenal Kamp Interniran Bersama Jelajah Malang
Sebenarnya, wilayah Interniran ini juga disebut sebagai Kamp Interniran atau Camp Interniran. Yakni sebuah kamp yang digunakan oleh tentara pendudukan Jepang untuk menahan bangsa Belanda yang tinggal di bekas jajahan Belanda (termasuk kota Malang ini).
Tidak hanya kamp interniran yang memang dikhususkan sebagai tahanan untuk Belanda (musuh Jepang saat itu) tapi juga ada kamp sipil yang dihuni oleh bangsa Indonesia sendiri.
Pak Ir saat itu menjelaskan bahwa Belanda saat itu berada di situasi yang sangat tidak mengenakkan. Ketakutan, kelaparan, dan berbagai tekanan psikologis lain.
Belanda memang menjajah kita begitu lama. Namun Belanda meninggalkan infrastruktur dan juga tata kota yang nyaman untuk ditinggali. Setidaknya hasil bumi kita yang diambil masih menyisakan harapan ketika merdeka. Terbukti kan? Berbeda dengan Jepang yang tidak hanya mengambil hasil bumi, tapi juga merusak, bahkan membunuh.
Area Jalan Raung sampai Jalan Semeru dibangun di tahun 1934, yang menjadi bagian dari Boplan (Perencanaan Kota Malang) yang saat itu masih diduduki oleh Belanda.
Rumah-rumah di sekitar sini disebut sebagai Rumah Villa yang diberikan untuk pejabat dan pengusaha (Cina dan Belanda). Rumah yang ditempati oleh Pak Ir sendiri merupakan rumah yang diberikan untuk Pak Slamet.
Siapa Pak Slamet?
Rumah Mewah Pertama yang Diberikan Untuk Pribumi Bernama Slamet
Pak Slamet adalah orang Jawa tulen, yang asalnya dari Jawa Tengah. Lalu kok bisa Pak Slamet menempati rumah tipe Villa yang diperuntukkan pejabat dan juga pengusaha non pribumi? Padahal, Pak Slamet adalah pribumi.
Jadi Pak Slamet adalah seorang dokter hewan yang direkrut oleh Kota Praja Malang. Pak Slamet sebagai dokter hewan yang sangat dibutuhkan saat itu (awal tahun 1930-an) bersedia pindah ke Kota Malang. Karena Malang saat itu membutuhkan dokter hewan untuk rumah potong hewan yang baru saja dibangun.
Karena Pak Slamet adalah dokter hewan kota Praja, Pak Slamet diberikan keistimewaan untuk bisa mendapatkan kesempatan membeli rumah di kampung londho (rumah tipe villa yang disebutkan di atas). Sistem pembeliannya dengan cara kredit, dan Pak Slamet membelinya ke Pemerintah Kota Malang saat itu dengan cara potong gaji.
Cicilannya hingga tahun 1984, dimulai dari tahun 1935. Bayangkan, berapa tahun kreditnya? hehehe..
Namun saat masa bersiap, yakni masa-masa chaos sejak pendudukan Jepang di Indonesia, rumah Pak Slamet nyaris tak bisa ditinggali lagi. Pak Slamet dan keluarga mengungsi di tempat lain, dan banyak orang yang silih berganti menempati rumah tersebut.
Beruntungnya Pak Slamet setelah masa kemerdekaan berhasil kembali ke Jalan Anjasmoro nomor 25 dengan berbekal sertifikat rumah yang beliau miliki dari Kota Praja Malang.
Sampai saat ini kondisi rumah Pak Slamet belum pernah diubah atau direnovasi sedikit pun, kecuali dicat. Teman caravan bisa melihat bagaimana bentuk arsitektur rumahnya, bagaimana lantainya, bagaimana dindingnya, jendela, pintu, hingga tamannya yang luas. Hal tersebut menjadi ciri khas bangunan saat itu dan sampai sekarang sudah jarang kita jumpai di perkotaan.
Pak Ir adalah cucu dari Pak Slamet, jadi cerita yang beliau tuturkan hari itu begitu nyata dan seakan menggambarkan situasi yang saat itu bergejolak. Penasaran dengan rumah yang menjadi cagar budaya tersebut? Ikut deh jalan-jalan bersama Jelajah Malang edisi kamp Interniran di Kota Malang berikutnya!
Jalan-jalan kemana lagi ya kita?